Kamis, 10 Januari 2024 – 16:04 WIB
Ekuador – Stasiun TV Ekuador, TC, diserbu oleh sekelompok orang bersenjata yang memaksa para staf untuk bertiarap dan duduk di lantai, sesaat kemudian terdengar suara tembakan dan teriakan.
Dilansir dari Al Jazeera, Rabu, 10 Januari 2024, Presiden Ekuador telah menyatakan 22 geng sebagai organisasi teroris dan mengatakan bahwa negara tersebut berada dalam keadaan “konflik bersenjata internal”.
Orang-orang yang mengenakan topeng penutup wajah (balaclava) dan sebagian besar berpakaian hitam, terlihat memegang senjata besar dan menyapa para staf yang berkerumun dalam siaran langsung, yang akhirnya dihentikan. Hingga saat ini belum diketahui apakah ada personel stasiun yang terluka.
Beberapa penyerbu memberi isyarat ke arah kamera dan seseorang terdengar berteriak “tidak ada polisi”.
Saluran lain menunjukkan gambar-gambar polisi di luar studio TC di Guayaquil, sebuah kota pesisir yang telah dilanda kekerasan yang melonjak selama beberapa tahun terakhir ketika kelompok-kelompok perdagangan narkotika meningkatkan operasinya di negara yang dulunya relatif damai di Amerika Selatan ini.
“Saya masih syok,” kata Alina Manrique, kepala pemberitaan TC Television yang mengatakan bahwa ia ditodongkan pistol di kepalanya saat kejadian.
Kepolisian nasional Ekuador mengatakan di media sosial bahwa unit khusus mereka telah dikerahkan ke lokasi kejadian, dan polisi mengonfirmasi bahwa 13 orang telah ditangkap. Polisi nasional memposting gambar beberapa pria dengan tangan diikat ke belakang, menyatakan bahwa mereka ditangkap saat melakukan intervensi di studio.
Insiden ini terjadi setelah sedikitnya tujuh petugas polisi diculik, ledakan terjadi di beberapa kota, dan narapidana di penjara menyandera puluhan sipir, sehari setelah Presiden Daniel Noboa mengumumkan keadaan darurat.
Noboa mengeluarkan sebuah dekrit pada hari Selasa yang menyatakan bahwa negara tersebut dalam keadaan “konflik bersenjata internal” dan menyatakan 22 gerombolan sebagai organisasi teroris. Dekrit tersebut memerintahkan angkatan bersenjata untuk “menetralisir” kelompok-kelompok tersebut, sejalan dengan hukum internasional dan hak asasi manusia.
Diplomat tertinggi Amerika Serikat untuk Amerika Latin menyatakan keprihatinannya terhadap situasi tersebut.
“Sangat prihatin dengan kekerasan dan penculikan hari ini di Ekuador,” Brian Nichols dari Departemen Luar Negeri AS, menulis di X, dan menambahkan bahwa para pejabat AS akan “tetap berhubungan erat” dengan tim Presiden Daniel Noboa.
Sementara itu, Perdana Menteri Peru Alberto Otarola mengumumkan keadaan darurat di sepanjang perbatasan utara negaranya dengan Ekuador, dan mengatakan bahwa sejumlah pasukan tentara akan dikerahkan untuk mendukung pasukan polisi di daerah tersebut.
Di negara-negara di seluruh Amerika Latin, pemerintah sering kali mengambil tindakan keras untuk menindak produksi dan peredaran narkotika, memberikan cek kosong kepada angkatan bersenjata yang memiliki catatan panjang tentang penyalahgunaan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Para kritikus mengatakan bahwa upaya semacam itu telah membantu memicu siklus kekerasan brutal di negara-negara seperti Meksiko dan Kolombia, sementara gagal membendung aliran narkotika yang menguntungkan.
Namun, seiring dengan gelombang kejahatan dengan kekerasan yang melanda Ekuador, para politisi berusaha untuk mengambil posisi yang lebih tegas dalam menghadapi kejahatan dan meningkatnya pengaruh pengedar narkotika.
Beberapa pihak menunjuk pada keberhasilan Presiden El Salvador Nayib Bukele, yang telah menangguhkan kebebasan sipil utama dan menjebloskan ribuan orang ke dalam penjara tanpa proses hukum dalam rangka memukul geng-geng kriminal di negara tersebut.