LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

by -144 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Bung Tomo sering diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dapat menggetarkan dan membangkitkan semangat orang, tetapi Gubernur Suryo juga adalah seorang juru bicara yang berbakat. Pidatonya menandai awal perang sejarah untuk Surabaya.

Bayangkan ini. Gubernur Suryo bahkan bukanlah seorang prajurit. Dia bukan personil militer. Tetapi dia menyadari bahwa dia memiliki tanggung jawab sejarah untuk bertahan. Dia mengerti peran kepemimpinannya: Seorang pemimpin harus sopan, harus mempertahankan kehormatan bangsa. Dia mewakili rakyatnya. Dia telah menunjukkan contoh yang besar kepada generasi muda tentang bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan sulit dan bagaimana seorang pemimpin bertindak tegas dalam membela tanah airnya.

Gubernur Suryo adalah bagian integral dari peristiwa pada 10 November 1945. Dia berada di balik keputusan untuk memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa sejarah paling penting yang pernah dilawan oleh rakyat Indonesia. Ini adalah pertempuran besar antara arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari para pemuda dan siswa madrasah Surabaya, dan Tentara Inggris. Itu adalah peristiwa pahlawan yang sangat heroik dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah susah payah dari Republik Indonesia.

Pertempuran besar melawan pemenang Perang Dunia II berlangsung selama tiga minggu, menewaskan lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsikan 200.000 warga sipil. Pertempuran besar dan ganas ini diperingati setiap 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya dipicu oleh kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang tewas dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada 30 Oktober 1945. Ini merupakan puncak dari pertempuran hampir satu minggu antara Brigade yang dipimpin oleh Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby melakukan kesalahan besar dengan membagi brigade-nya menjadi unit level peleton yang menduduki banyak pos terpencil di Surabaya. Pada waktu itu, unit-unit bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah merebut ribuan senjata dari Jepang. Beberapa adalah pasukan resmi. Yang lain adalah sukarelawan. Yang lainnya masih adalah geng bersenjata. Oleh karena itu, peleton-peleton ini tidak bisa saling membela karena terlalu tersebar tipis di kota sebesar Surabaya. Brigade itu dihancurkan sebagai kekuatan yang terorganisir. Tindakan-tindakan ini berujung pada pembunuhan Mallaby. Hal ini, tentu saja, mempermalukan Inggris. Mereka marah. Mereka menuntut agar para pembunuhnya ditangkap, dan pasukan Indonesia dihentikan.

Inggris murka atas kematian jenderal mereka, menuntut agar para pelaku ditangkap.

Serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Tentara Inggris, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir dengan kebuntuan.

Akhirnya, setelah salat Jumat pada 9 November 1949, Tentara Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menjatuhkan pamflet dari udara agar semua penduduk Surabaya membacanya. Ultimatum itu menuntut agar semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerah dan agar semua warga Indonesia yang tidak berwenang untuk membawa senjata menyerahkan senjatanya. Semua wanita dan anak-anak Indonesia diinstruksikan untuk meninggalkan kota menuju Mojokerto dan Sidoarjo.

Batas waktu yang diberikan untuk ultimatum tersebut adalah pukul 18.00. Jika perintah itu tidak diindahkan, Tentara Inggris bersumpah untuk menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum itu menciptakan kepanikan di kalangan penduduk Surabaya. Namun kelompok pemuda militan yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka siap perang.

Gubernur Suryo meminta penduduk Surabaya untuk tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian sepenuhnya menyerahkan keputusan tentang bagaimana merespons kepada rakyat Surabaya.

Pada saat kritis itu, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan secara luas, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia adalah bangsa besar yang dapat bertahan dari serangan militer besar oleh kekuatan asing. Bangsa ksatria ini tidak takut pada siapapun, termasuk kekuatan super seperti Inggris, untuk membela kedaulatannya. Atau alternatifnya, jika dia memutuskan menerima ultimatum, Indonesia akan kembali menjadi bangsa yang ditaklukkan, bangsa yang terhina, bangsa yang merunduk di bawah ultimatum yang dikeluarkan oleh kekuatan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini hanya bisa diambil oleh Gubernur Suryo.

Saat mendekati batas waktu yang ditetapkan oleh Inggris, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan penting kepada penduduk Surabaya lewat radio. Berbeda dengan Bung Tomo, pidatonya tidak penuh semangat. Namun, pidato singkat yang disampaikan dengan tenang cukup kuat untuk menggerakkan semua orang yang mendengarkannya untuk mengangkat senjata membela Surabaya.

Meskipun Bung Tomo diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dikenal dengan orasinya yang menggetarkan dan memikat yang dapat membangkitkan massa, nada tenang namun tegas dari Gubernur Suryo juga sangat kuat. Pidato Gubernur Suryo menjadi ‘seruan pertempuran’ pertama yang menandai awal pertempuran bersejarah tersebut. Kita hanya bisa membayangkan emosinya saat dia berbicara kepada penduduk Surabaya.

Ini bahkan lebih sulit untuk dipahami, mengingat Gubernur Suryo bahkan bukanlah seorang prajurit. Namun, dia sepenuhnya menyadari perannya sebagai seorang pemimpin: Seorang pemimpin harus berani untuk mengambil keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela kehormatan tanah airnya. Dia mewakili rakyatnya. Dia adalah harapan rakyatnya. Demikianlah kualitas kepemimpinan besar yang telah ditunjukkannya kepada generasi muda.

KAMI LEBIH MEMILIH UNTUK DIHANCURKAN DARIPADA DIKOLONISASI LAGI!

Saudara-saudari,

Pemimpin-pemimpin kita di Jakarta telah berupaya sekuat tenaga untuk mengelola perkembangan di Surabaya. Tetapi sayangnya, semuanya sia-sia. Sekarang saatnya bagi kita, rakyat Surabaya, untuk menentukan langkah selanjutnya. Semua upaya kita untuk bernegosiasi telah gagal. Untuk membela kedaulatan bangsa kita, kita harus mempertahankan dan menegaskan tekad kita untuk menghadapi semua kemungkinan.

Berkali-kali, kita telah menyatakan posisi kita: Kami lebih memilih dihancurkan daripada dijajah kembali. Sekarang, di hadapan ultimatum Inggris, kita akan menegakkan sikap itu. Kami akan tetap teguh menolak ultimatum tersebut.

Menyambut setiap kemungkinan besok, mari kita semua menjaga persatuan antara pemerintah, rakyat, TNI, polisi, pemuda dan organisasi perlawanan rakyat. Mari kita berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa agar diberikan kekuatan dan Berkat serta Petunjuk-Nya dalam pertempuran ini.

Selamat berjuang!

Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo

Source link