Selasa, 15 Oktober 2024 – 02:33 WIB
Jakarta, VIVA – Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik mendapat banyak kritikan karena memasukkan ketentuan tentang kemasan polos yang tidak didasarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 (PP 28/2024).
Baca Juga :
Kemenag Evaluasi Menu Katering Haji, Tingkatkan Bahan Baku dari Indonesia
Dengan adanya aturan kemasan polos dan ketidakhadiran pemangku kepentingan terkait dalam diskusi RPMK, kebijakan tersebut dinilai perlu dipertimbangkan ulang agar tidak berdampak signifikan terhadap kelangsungan industri dan ekonomi nasional.
Pakar hukum dari Universitas Trisakti, Ali Ridho, menjelaskan bahwa penyusunan RPMK telah melenceng dari mandat PP 28/2024. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.
Baca Juga :
Pakar Hukum Nilai Terpidana Mardani Maming Tidak Terbukti Lakukan Korupsi, Ini Alasannya
Karena dalam PP 28/2024 hanya mengatur tentang jenis gambar peringatan, bukan mengatur tentang kemasan polos. Oleh karena itu, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dalam aturan turunannya melampaui kewenangannya.
“Peraturan ini offside karena keluar dari jalur mandat yang diperintahkan dalam PP 28/2024,” ujar Ali Ridho, Minggu 13 Oktober 2024.
Baca Juga :
Jokowi Bakal Evaluasi Penyelenggaraan PON XXI Aceh-Sumut 2024
Ali Ridho melanjutkan, RPMK tidak hanya melenceng dari PP 28/2024, namun juga dinilai bertabrakan dengan berbagai undang-undang lainnya.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara gamblang menjelaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mengetahui produk yang mereka beli. Selain itu, ada pelanggaran hak asasi manusia dalam RPMK.
“Di UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur hal yang sama. Jika kebijakan kemasan polos diterapkan, maka akan dilanggar undang-undang,” tegas dia.
Dampak yang ditimbulkan dari implementasi kebijakan tersebut nantinya akan menciptakan kebingungan di masyarakat. Menurut Ali Ridho, konsumen akan tidak tahu apakah produk yang mereka gunakan legal atau ilegal.
“Padahal hak konsumen sudah dijamin dalam undang-undang. Peraturan Kementerian yang mencoba melampaui batas kewenangannya, akan berpotensi bertabrakan dengan undang-undang,” kata Ali Ridho.
Polemik RPMK semakin diperparah karena minimnya keterlibatan para pemangku kepentingan.
Dengan kondisi tersebut, Ali Ridho menyatakan bahwa RPMK dapat dianggap sebagai peraturan yang cacat secara formal karena masalah materiilnya, sehingga dapat dibatalkan.
“Diperlukan pembahasan ulang dan pertemuan dengan melibatkan para pemangku kepentingan yang terdampak. Bukan hanya melibatkan masyarakat atau pihak-pihak yang mendukung kebijakan kemasan polos,” ucap dia.
Pelaku usaha dan konsumen di industri rokok elektronik juga telah mengungkapkan harapannya agar Kementerian Kesehatan mengevaluasi RPMK.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Garindra Kartasmita, menyatakan harapannya agar RPMK tidak disahkan.
Karena kebijakan banyak mengikuti poin-poin dalam perjanjian internasional Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang merupakan inisiatif World Health Organization (WHO) dan belum diratifikasi Indonesia, sehingga mengabaikan banyak pihak yang terlibat dalam industri rokok elektronik.
“Semoga bisa diubah oleh pemerintahan yang baru. Harapannya, tidak perlu melalui judicial review,” ungkapnya.
Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (AKVINDO), Paido Siahaan, menambahkan bahwa Kementerian Kesehatan seharusnya mempertimbangkan hak konsumen untuk mendapatkan informasi lengkap dan jelas mengenai produk yang mereka gunakan.
Menghilangkan elemen merek dan informasi pada kemasan sama dengan menghalangi konsumen untuk mendapatkan informasi produk sehingga membuat mereka sulit memilih produk yang tepat.
Oleh karena itu, rancangan peraturan ini melanggar hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang akurat.
“Kebijakan yang diambil harus seimbang, dengan mempertimbangkan tujuan kesehatan masyarakat sambil melindungi hak konsumen dan memberikan pilihan yang lebih baik bagi perokok dewasa,” tegasnya.
Halaman Selanjutnya
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara gamblang menjelaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mengetahui produk yang mereka beli. Selain itu, ada pelanggaran hak asasi manusia dalam RPMK.