Military Leadership: Grand General TNI Sudirman

by -90 Views

Dengan berbagai keputusan teladannya sebagai Panglima TNI pertama, Jenderal Sudirman telah memberikan warisan yang hebat dan mulia kepada generasi TNI selanjutnya: Sebuah tradisi kepahlawanan dalam bentuk yang paling murni.

Ia meninggalkan TNI sebuah pondasi harga diri dan kebanggaan bagi pemimpin TNI generasi mendatang. Karakter dan tindakan Pak Dirman pada saat itu mencerminkan karakter dan tindakan seorang pemimpin prajurit sejati.

Keheroisannya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan tak kenal lelah yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Ia menegaskan gagasan bahwa prajurit TNI harus berani mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916. Ia adalah seorang guru sekolah dasar di sebuah sekolah yang dikelola oleh Muhammadiyah di Solo, yang saat itu disebut Surakarta. Ketika para pemimpin gerakan Kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penduduk Jepang bahwa mereka harus memperbolehkan warga Indonesia membentuk organisasi militer pertahanan diri, berbagai organisasi militer diorganisir di bawah pengawasan ketat Jepang.

Di Jawa, kekuatan ini disebut Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Jawa diorganisir di tingkat kabupaten, dan terdapat sekitar 60 batalyon relawan PETA yang dilatih dan diorganisir. Para komandan batalyon dipilih dari pemimpin-pemimpin pribumi yang sangat dihormati di kabupaten mereka.

Di Purwokerto, seorang kepala sekolah muda di sebuah sekolah menengah Islam di bawah naungan Muhammadiyah dipilih. Hal ini menunjukkan bahwa, sebagai seorang kepala sekolah muda, Sudirman sudah dikenal dan dihormati karena integritas dan karakternya yang teguh. Pemuda yang masih muda dengan pendidikan dan reputasi baik dipilih untuk menjadi komandan kompi dan komandan peleton. Mereka dilatih oleh Jepang di pusat pelatihan perwira di Bogor. Di antara komandan kompi tersebut ada nama-nama seperti Suharto, Ahmad Yani, Kemal Idris, Surono, Sarwo Edhie dan banyak nama lain yang kemudian terkenal sebagai pemimpin TNI.

Selama perang, para komandan PETA ini segera mengambil alih kepemimpinan batalyon mereka dan bersumpah setia kepada republik baru yang dinyatakan pada 17 Agustus 1945. Sebagai pemimpin batalyon Purwokerto, Sudirman segera bergerak menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak zaman kolonial Belanda. Setelah merebut Magelang pada akhir 1945, Sudirman terus mengejar pasukan Inggris yang menduduki Hindia Belanda.

Meskipun Inggris berencana untuk mundur, satuan-satuan Sudirman terus mengganggu pasukan Inggris sehingga keberangkatan mereka dipercepat. Dalam pandangan pejuang kemerdekaan Indonesia, ia menjadi tokoh pahlawan yang mewakili semangat perlawanan TNI yang garang. Ia diakui telah mendorong dan mengusir pasukan Inggris dari Magelang serta memimpin serangan Ambarawa terhadap mereka. Ini adalah pukulan telak yang memastikan bahwa Jawa Tengah berada di bawah kontrol penuh Republik Indonesia.

Setelah peristiwa di mana Sudirman mendapat ketenaran dan mendapatkan penghormatan dari sesama komandan batalyon di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno, melalui Menteri Pertahanan, menunjuk Urip Sumarjo sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR) 5 Oktober 1945. Perwira tertinggi dari Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) saat itu, Urip Sumoharjo, diangkat sebagai Panglima Besar.

Namun, para pemimpin seluruh batalyon di Jawa memprotes bahwa mereka tidak ingin memiliki Panglima Besar yang dilatih Belanda. Mereka semua memilih Sudirman sebagai Panglima Besar. Keputusan mereka disampaikan kepada Presiden Sukarno. Untuk menjaga persatuan dan ketenangan republik yang masih muda, Presiden Sukarno mengubah keputusannya. Sudirman diangkat menjadi Panglima Besar TKR, dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.

Pada 19 Desember 1948, meskipun ada perjanjian gencatan senjata di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda melancarkan operasi militer dalam bentuk serangan mengejutkan di Yogyakarta, yang saat itu menjadi Ibu Kota Republik Indonesia. Banyak yang menyamakan serangan ini dengan serangan mendadak Jepang di Pearl Harbor pada tahun 1941 atau tikaman di belakang oleh Signor Mussolini terhadap Perancis pada tahun 1940. Menghadapi kenyataan ini, banyak pemimpin negara saat itu memutuskan untuk tidak bertahan dan melawan serta membuktikan ketidak sahannya tindakan Belanda melalui jalan diplomasi dan politik.

Pada akhir 1948, Jenderal Sudirman, Panglima pertama Angkatan Bersenjata Indonesia, menderita tuberkulosis parah. Kesehatannya sangat buruk, dan ia hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi setelah menjalani operasi. Meskipun sakit, Sudirman meninggalkan rumah sakit tempat ia dirawat dan pergi menemui Presiden Sukarno pada awal serangan mengejutkan Belanda. Ia menyarankan agar Presiden meninggalkan Yogyakarta bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan memimpin perang gerilya melawan invasi Belanda. Namun, Presiden Sukarno menolak untuk memimpin perang gerilya.

Sukarno bahkan memerintahkan Jenderal TNI Sudirman untuk tetap berada di kota itu karena kondisi medisnya yang parah. Presiden Sukarno, bersama hampir seluruh anggota kabinetnya, memilih untuk tidak meninggalkan kota dalam melawan dan menawarkan resistensi yang sangat sedikit ketika pasukan Belanda yang maju menangkap mereka.

Jenderal Sudirman memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan memimpin perang gerilya melawan musuh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat disimpulkan bahwa rakyat Indonesia sangat kecewa dengan berita penangkapan Presiden, Wakil Presiden, dan Perdana Menteri Indonesia. Namun, perlawanan sengit yang dilakukan oleh Jenderal TNI Sudirman dan pasukannya menaikkan semangat seluruh bangsa, dan TNI akhirnya mendapatkan keunggulan.

Dengan berbagai keputusan teladannya, Jenderal Sudirman telah memberikan kepada generasi TNI selanjutnya warisan yang hebat dan mulia, yaitu tradisi kepahlawanan dalam bentuk yang paling murni. Kepemimpinannya dalam perang gerilya melawan Belanda meninggalkan pondasi harga diri dan kebanggaan bagi pemimpin-pemimpin TNI generasi mendatang.

Jenderal Sudirman telah menunjukkan bahwa ia memiliki kepribadian yang kuat dan tidak kekurangan keberanian, sikap teguh, dan semangat pengorbanan yang tulus. Ia sadar bahwa ada kemungkinan besar ia dapat terluka dan tidak menerima perawatan medis yang memadai selama perang gerilya tersebut. Namun, ia memilih untuk mengorbankan nyawanya demi kepentingan bangsa Indonesia. Tindakannya mengangkat kepercayaan bawahan dan rakyat pada umumnya di hadapan serangan Belanda.

Sulit untuk membayangkan bagaimana jika, pada saat itu, Jenderal Sudirman juga ditawan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman saat itu tak lain adalah sikap dan tindakan seorang pemimpin prajurit sejati. Perbuatan heroiknya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan tak kenal lelah yang menempatkan kepentingan bangsa dan kepentingan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Ia menegaskan tradisi TNI untuk mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Source link