QUALITIES OF TRUE MILITARY LEADERS

by -83 Views

Para mentorku dari generasi ’45 adalah pemimpin lapangan, komandan pasukan tempur, dan pemimpin militer. Ada lima hal yang saya pelajari dari mereka yang telah membentuk kepribadian saya: Pertama, Patriotisme, cinta mereka pada tanah air tidak pernah pudar meskipun usia mereka bertambah; Kedua, Percaya diri; Ketiga, Intelek, mereka adalah pembelajar seumur hidup dan sangat antusias untuk belajar tentang hal-hal di luar domain mereka; Keempat, Sense of Humor yang baik, yang memungkinkan mereka untuk terhubung emosional dengan para bawahan dan pria yang mereka pimpin; Kelima, Fleksibilitas, mereka tidak terlalu terikat oleh protokol.”

Sikap dan kepemimpinan seorang pemimpin militer terbentuk di medan pertempuran. Sebagai seorang perwira muda, saya beruntung telah menerima pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan mentorship dari banyak pelaku perang kemerdekaan dan operator militer di awal Republik Indonesia. Pada saat itu, tidak ada jaminan bahwa Republik bisa bertahan. Pemerintah tidak memiliki anggaran, baik untuk pengembangan maupun untuk militer. Kebangkitan bangsa ini semata-mata ditentukan oleh puluhan ribu rakyat Indonesia dari berbagai kelompok etnis, ras, suku, agama, dan daerah. Mereka dihadapkan pada pilihan antara bergabung dengan gelombang kemerdekaan atau memilih keamanan karena risikonya terlalu besar. Tetapi banyak yang memilih untuk mengorbankan nyawa mereka untuk berjuang demi kemerdekaan agar akhirnya kita bisa bebas dari belenggu kolonialisasi yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Mereka adalah orang-orang yang kita kenal sebagai generasi ’45. Mereka adalah ‘generasi pemenang kemerdekaan’. Mereka bisa dianggap sebagai generasi terbaik Indonesia. Sebagai seorang kadet muda di Akademi Angkatan Bersenjata dan kemudian sebagai seorang perwira muda, saya merasa sangat beruntung karena memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak tokoh dari generasi ’45. Bahkan beberapa anggota keluarga saya juga bagian dari generasi ini. Kakek saya, Margono Djojohadikusumo, dipercayai oleh Bung Karno untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan ketika Bung Karno dan semua tokoh nasionalis pribumi ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dari Jawa pada tahun 1934. Sehari sebelum Bung Karno akan diasingkan ke kota kecil Ende, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, ia memanggil Pak Margono. Bung Karno memberikan mandat kepada kakek saya untuk membantu mendirikan Partai Indonesia Raya (PARINDRA) dan pada saat bersamaan menjabat sebagai ketuanya. Pada saat itu, Partai Nasional Indonesia (PNI), partai utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dibubarkan oleh Belanda. Hampir semua tokoh utamanya ditangkap. Ketika Bung Karno tiba di Jakarta setelah dibebaskan oleh Belanda dari pengasingan, Pak Margono segera mendatanginya dan mengembalikan mandat tersebut. Demikian juga kedua putranya, Kapten Subianto Djojohadikusumo dan Kadet Sujono Djojohadikusumo juga bagian dari generasi ’45. Dua paman saya meninggal dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten pada tanggal 25 Januari 1946. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Lengkong, para kadet Akademi Militer Tangerang yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Daan Mogot mencoba merebut senjata dari pangkalan Jepang. Namun, hampir semua kadet tewas dalam pertempuran, termasuk komandan mereka dan dua paman saya. Pada saat yang sama, ayah saya, Soemitro Djojohadikusumo, setelah pulang dari Belanda sebagai orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar Doktor Ekonomi, yang dia peroleh dari Universitas Rotterdam, segera bergabung dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dia terlibat dalam penyelundupan karet dan kopra keluar dari Indonesia untuk membiayai penyelundupan senjata ke dalam negeri untuk mendukung pasukan Indonesia. Dia juga berperan dalam mencetak uang kertas pertama Indonesia yang dikenal sebagai ORI (Oeang Republik Indonesia). Pada usia 29 tahun, dia menjadi asisten pribadi kepada Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Saya lahir pada tahun 1951, sepuluh bulan setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Kenangan pertama saya sebagai seorang anak adalah mengunjungi Taman Makam Pahlawan (TMP), tempat di mana kedua paman saya dimakamkan, dan mengunjungi rumah kakek nenek saya di hari Minggu. Kakek saya selalu mendirikan tenda militer paman saya di halaman sebelum saya tiba. Itu selalu menjadi ciri khas yang selalu menyambut saya. Kakek saya juga menunjukkan kepada saya dua tempat tidur paman saya, tas ransel, dan helm yang dia simpan. Bahkan seragam mereka masih rapi dilipat, dan sepatu militer mereka yang diletakkan di ujung tempat tidur mereka selalu mengkilap. Dengan halus, kakek nenek saya menunjukkan betapa mereka menghargai dan menghormati pengorbanan maksimal yang telah dilakukan oleh putra-putranya untuk kemerdekaan, kedaulatan, dan kehormatan bangsa Indonesia. Dari situ muncul semangat ’45 yang disebut-sebut. Ini adalah semangat yang bertujuan untuk mengangkat Indonesia menjadi bangsa yang mandiri, terhormat, dan adil, dengan warga negara yang sejahtera dan bahagia yang setara dengan bangsa lain. Itulah suasana yang, secara tak sadar, menjadi bagian dari transfer nilai dari generasi ’45 ke generasi berikutnya, termasuk kepada saya. Keluarga saya adalah keluarga dari generasi ’45. Saya tumbuh dalam lingkungan pejuang kemerdekaan. Sering disebut sebagai lingkungan ‘republiken’, menggunakan terminologi saat itu. Generasi ’45 naik ke panggung karena mereka tidak mau dianggap lebih rendah dari anjing oleh para penjajah. Di masa lalu, mereka biasa mendengar frasa verboden voor Honden en Inlanders (anjing dan pribumi dilarang masuk) dan melihatnya tertulis di dinding banyak tempat usaha. Bahkan pada tahun 1978, saat saya menjabat sebagai Komandan Kompi di Grup 1 Pasukan Khusus (KOPASSUS), saya menemukan frasa ini di sebuah kolam renang di Manggarai, Jakarta Selatan. Frasa itu diukir di dinding marmer di sebelah kolam renang. Tetapi pada saat itu, inskripsi itu tertutup oleh lumut hijau. Rasa penasaran saya mendorong saya untuk memerintahkan pasukan saya untuk membersihkan lumut itu. Dan sungguh, jelas sekali terbaca frasa Belanda: Verboden voor Honden en Inlanders. Anjing dan pribumi tidak diizinkan masuk ke kolam renang ini. Apa yang menyakitkan, bahkan lebih, adalah bahwa kami, para pribumi, ditempatkan setelah anjing-anjing. Pada saat itu, Belanda menganggap anjing lebih pantas dihormati daripada kami, pribumi tanah ini. Selain dibesarkan dalam keluarga pejuang kemerdekaan, saya juga beruntung bisa berinteraksi langsung dengan tokoh kunci dari generasi ’45. Saya sering mengunjungi rumah Pak Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama. Pak Margono dulu pernah menjadi sekretarisnya. Suatu kali, ayah saya, Pak Soemitro, bahkan membawa saya ke Istana Presiden ketika saya sekitar 6 atau 7 tahun. Bung Karno melihat saya dan sejenak mengangkat saya. Saat masih kecil, rumah kami sering dikunjungi oleh tamu. Kemudian, saya akan memahami bahwa mereka adalah tokoh penting yang memainkan peran kunci dalam perang kemerdekaan dan tahun-tahun formatif bangsa. Begitu juga ketika saya bergabung dengan Akademi Angkatan Bersenjata (AKABRI) di Magelang pada tahun 1970, beberapa instruktur dan komandan saya berasal dari generasi ’45. Mayor Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo, Gubernur AKABRI (1970-1974), adalah salah satu tokoh besar yang saya temui. Tugas terakhirnya adalah sebagai Komandan Komando Daerah Militer (Pangdam) XVII/Cenderawasih, dan dia pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal. Saya juga bertemu dengan Brigadir Jenderal Himawan Sutanto, Wakil Gubernur AKABRI, ketika saya masih seorang kadet. Posisi terakhirnya adalah Kepala Staf Umum TNI dengan pangkat Letnan Jenderal. Saya juga mengenal Mayor Jenderal Wijogo Atmodarminto, Gubernur AKABRI (1970-1974). Tugas terakhirnya adalah sebagai Komandan Komando Daerah Pertahanan (Pangkowilhan) II, dengan pangkat Letnan Jenderal. Salah satu tokoh yang saya temui adalah Brigadir Jenderal TNI Sudarto, Komandan Divisi Kadet AKABRI. Selain itu, saya juga mengenal Mayor Jenderal TNI Purbo S. Suwondo, Wakil Gubernur AKABRI (1962-1966). Tugas terakhirnya adalah sebagai anggota staf Komandan Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB), sebuah agensi keamanan internal khusus dan kuat yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden Soeharto, dengan pangkat Letnan Jenderal. Kemudian Mayor Jenderal Soesilo Soedarman kemudian menjadi Jenderal TNI (Purn.), dengan tugas terakhirnya sebagai Pangkowilhan I dan IV. Saya juga bertemu dengan Kolonel Infanteri Susanto Wismoyo, yang pensiun dengan pangkat Brigadir Jenderal dan posisi terakhir sebagai Pangdam XIII/Merdeka. Selanjutnya, melalui tugas saya sebagai perwira muda, saya juga berinteraksi dengan Mayor Jenderal Benny Moerdani. Dia kemudian menjadi Jenderal TNI sebagai Panglima TNI. Brigadir Jenderal Ali Moertopo kemudian menjadi Letnan Jenderal TNI dengan posisi terakhir sebagai Wakil Kepala …

Source link