Ahli Menyatakan Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Usia Calon Presiden-Wakil Presiden Dapat Dibatalkan Jika Didasarkan pada Moral

by -217 Views

Jumat, 3 November 2023 – 17:43 WIB

Jakarta – Guru besar hukum tata negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Muhammad Fauzan berpendapat bahwa putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 dapat dibatalkan. Namun, pembatalan putusan tersebut hanya memungkinkan jika Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menemukan adanya pelanggaran kode etik oleh hakim yang mengeluarkan putusan tersebut.

Baca Juga:

Masinton PDIP Anggap Pelapor Dirinya ke MKD DPR Karena Usul Hak Angket MK Salah Alamat

“Jika putusan MKMK membuktikan bahwa para hakim dengan sah dan meyakinkan telah melanggar kode etik, maka dari segi moralitas, putusan yang telah diambil tidak memiliki legitimasi moral karena diputus oleh hakim yang terbukti melanggar kode etik,” kata Fauzan kepada wartawan, Jumat 3 November 2023.

Sidang Putusan Batas Umur Capres dan Cawapres di Mahkamah Konstitusi

Sidang Putusan Batas Umur Capres dan Cawapres di Mahkamah Konstitusi

Baca Juga:

Masinton PDIP Dilaporkan ke MKD DPR Karena Usul Hak Angket Putusan MK

Putusan nomor 90 dikeluarkan sebagai tanggapan atas gugatan terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal capres dan cawapres. Dalam putusan tersebut, MK menetapkan syarat pendaftaran capres-cawapres harus berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.

Putusan tersebut membuka peluang bagi putra tertua Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi pendamping Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024. Saat putusan tersebut diambil oleh Ketua MK Anwar Usman, Gibran masih berusia 36 tahun. Saat ini, Anwar berstatus sebagai besan Jokowi atau paman Gibran.

Baca Juga:

Anwar Usman Bantah Tuduhan Dirinya Menghalangi Pembentukan MKMK Permanen

Keputusan ini berdampak luas. Beberapa pihak melaporkan adanya dugaan pelanggaran etik dalam putusan tersebut. MKMK pun didirikan, dengan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie sebagai ketua. Saat ini, kasus dugaan pelanggaran etik oleh hakim MK sedang diselidiki dan sedang dalam sidang pendahuluan.

Jika merujuk pada hukum tata negara positif atau sesuai dengan Pasal 24 C Undang-Undang Dasar 1945, menurut Fauzan, putusan MK biasanya harus diterima oleh publik dan langsung berlaku tanpa upaya hukum tambahan.

Namun, proses hukum di MKMK membuka kemungkinan pembatalan putusan nomor 90. Jika memprioritaskan aspek moralitas, Fauzan mengatakan bahwa MKMK bisa mengesampingkan hukum tata negara yang berlaku di Indonesia selama ini.

“MKMK dapat menyatakan bahwa putusan yang telah diputus oleh hakim yang terbukti melanggar kode etik tidak mengikat. Jika ini terjadi, maka akan ada dinamika hukum dalam tata negara kita, dan tentu saja ini akan menimbulkan diskursus juga,” kata Fauzan.

Fauzan mengatakan bahwa MKMK juga dapat tidak membatalkan putusan nomor 90 meskipun hakim MK terbukti melanggar etika. Namun, ia berharap MKMK dapat membuat terobosan dengan menetapkan bahwa putusan hakim yang terbukti melanggar kode etik dapat dibatalkan.

“Pembatalannya ada dua cara. Pertama, pembatalan oleh MK sendiri atas perintah MKMK. Kedua, oleh MKMK yang memeriksa dan memutuskan laporan adanya pelanggaran kode etik,” kata Fauzan.

Ilustrasi logo Mahkamah Konstitusi.

Ilustrasi logo Mahkamah Konstitusi.

Aspirasi untuk membatalkan putusan MK juga diungkapkan oleh pakar hukum tata negara Denny Indrayana. Ia berharap MKMK berani membatalkan putusan nomor 90 jika menemukan pelanggaran etika oleh hakim dalam proses pengambilan keputusan.

Ia juga meminta agar putusan mengenai dugaan pelanggaran etika oleh hakim MK dapat dikeluarkan sebelum tanggal 8 November 2023, yaitu batas akhir pendaftaran capres-cawapres. Dengan demikian, pihak terkait, baik itu KPU, koalisi partai politik, maupun pasangan Prabowo-Gibran, dapat mempersiapkan diri untuk merespons putusan tersebut.

Halaman Selanjutnya

Namun, proses hukum di MKMK membuka kemungkinan pembatalan putusan nomor 90. Jika memprioritaskan aspek moralitas, Fauzan mengatakan bahwa MKMK bisa mengesampingkan hukum tata negara yang berlaku di Indonesia selama ini.

Halaman Selanjutnya